Pengikut

What is the capital city of Haiti?

Jumat, 12 Februari 2010

PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL MENURUT PENDEKATAN REALIS

TUGAS REVIEW I MATA KULIAH ORGANISASI INTERNASIONAL

Nama : Sri Rezeki

NPM: 0806322962

Sumber : Kelly-Kate S. Pease, International Organizations; Perspectives on Governance in the 21st Century (New Jersey: Prentice Hall, Inc, 2000)

PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL MENURUT PENDEKATAN REALIS

Apa itu Pendekatan Realis?

Realisme adalah pendekatan teoritis dari hubungan internasional dan dikenal secara meluas sebagai worldview. Realisme juga dikenal sebagai power politics atau realpolitik. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana negara memperoleh, mempetahankan dan juga menggunakan power. Realis memfokuskan dirinya kepada negara bangsa, dan analisis langsung terhadap beberapa isu khusus dari internasional isu seperti keamanan, perang, dan bentuk konflik kekerasan lainnya.

Realis berasal dan berkembang dari pengalaman sejarah Eropa dan juga dari para sarjana. Hal ini juga yang kemudian mendasari kenapa realis menekankan pada keamanan dan perang. Seperti yang kita ketahui bersama, benua Eropa mengalami beberapa konflik brutal, mulai dari Perang 30 Tahun (1618-1648), Perang Napoleon (1803-1815), Perang Dunia pertama (1914-1918) hingga Perang Dunia Kedua (1939-1945). Pengalaman pereang dan imperialisme kemudian membentuk suatu framework dalam pemahaman hubungan internasional dan pada benua-benua lain selain Eropa menerapkan framework ini sehingga menjadi worldview.

Filososfi tradisional realisme berasal dari seorang sejarawan besar Athena yaitu Thucydides. Filosofi Thucydides ini pun sebenarnya berasal dari pemahamannya terhadap Perang Peloponesia yang melibatkan tiga negara kota yaitu Melos, Athena, dan Lacedaemonia. Dalam pemahamannya tentang perang ini, Thucydides menemukan peran rasa takut, kekuatan, dan aliansi antar negara kota yang berkompetisi. Selain Thucydides ada beberapa sarjana lainnya yang menganalisis tentang pendekatan realis. Mereka adalah Niccolo Machiaveli dengan analisis klasiknya dalam The Prince, Thomas Hobbes dengan analisisnya mengenai sifat dan kondisi manusia, Carl von Clausewitz dengan analisisnya dalam On War, dan Alexander Hamilton dengan analisisnya tentang politik dalam ekonomi.

Namun, apapun analisis para sarjana ini mengenai pendekatan realisme, asumsi yang mereka hasilkan mengarah kepada empat asumsi dasar dari pendekatan realis. Empat asumsi tersebut adalah :

  1. Negara adalah aktor paling penting dalam hubungan internasional; negara ataupun wakil negara (pemerintah) memiliki keputusan final dalam pengambilan keputusan di jurisdiksi teritori mereka. Jadi menurut realis, hubungan internasional sejak tahun 1648 adalah aktivitas dan interaksi antar negara bangsa.
  2. Negara adalah unitary dan rasional aktor; realis menyadari bahwa negara adala sebuah unit yang terdiri dari individu, grup dan berbagai aktor pemerintahan seperti legislatif dan birokrasi. Realis juga menyadari bahwa negara adalah aktor yang rasional yang mampu untuk mengidentifikasi tujuan dan kepentingannya sendiri.
  3. Hubungan Internasional adalah konfliktual; tradisional realis melihat hubungan internasional sebagai sesuatu yang konfliktual karena mereka pesimis terhadap sifat manusia itu sendiri. Tradisional realis semacam Morghentau, E.E Carr, dan Hobbes melihat bahwa sifat asli manusia adalah egois dan agresif sedangkan negara diciptakan oleh manusia, jadi negara juga memiliki sifat yang sama dengan sifat asli manusia. Seperti yang diungkapkan dalam pandangan Morghentau ”the relations between nations are not essentially different from the relations between individuals; they are only relations between individuals on a wider scale”. [1] Menurut para struktural realis semacam Kenneth Waltz, hubungan internasional bersifat konfliktual karena sistem internasional yang anarki dan adanya perimbangan kekuasaan.
  4. Isu keamanan dan geostrategi mendominasi agenda internasional; karena situasi lingkungan internasional yang tidak ramah dan mengerikan dengan konsekwensinya adalah perang dunia, maka keamanan nasional adalah prioritas utama bagi suatu negara. Isu-isu lainnya seperti ekonomi, HAM, lingkungan dan kemiskinan menjadi prioritas berikutnya.

Pendekatan Realis dalam Organisasi Internasional

Realis percaya bahwa sistem internasional bersifat anarki, yang berarti tidak ada kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional dimana setiap negara memiliki otoritas masing-masing. Namun pada kenyataannya, hirarki kekuatan tetap saja ada dalam internasional sistem. Realis mengklasifikasikan negara dalam bentuk hirarki ini sebagai super, middle, dan juga lesser power. Dan karena alasan inilah organisasi internasional diperlukan. Menurut realis, organisasi internasioanl akan menghadirkan hirarki sosial negara-negara dimana interest dari kekuatan penuh diinstitusionalisasikan.

Realis menyadari bahwa organisasi internasional adalah suatu bentuk kontrol dari negara-negara powerful terhadap negara-negara less power. Hal ini terjadi karena pada dasarnya organisasi internasional dibentuk oleh negara-negara powerful tadi untuk kepentingan nasional mereka sendiri. Realis lebih memfokuskan pembentukan intergovenmental organization karena negara adalah aktor utama. Hegemoni yang ada dalam bentuk organisasi internasional pada akahirnya mempertahankan keberlangsungan hegemoni itu sendiri.

Organisasi internasional bagi para realis hanya sebagai perpanjangan tangan dari negara besar, jadi sifatnya hanyalah pelengkap dalam kepentingan negara untuk mencapai tujuannya. Organisasi internasional bahkan dapat diciptakan ketika negara-negara memilki kepentingan yang sama atau masalah yang sama. Bahkan bentuk kejasama ini dapat dilihat dalm bentuk Game Theory, suatu bentuk variasi pilihan teori rasional, dimana masing-masing negara memegang prinsip keuntungan absolut.

Bagi realis, organisasi internasional memainkan dua peranan, salah satu peranan tersebut adalah peran marjinal dalam dunia politik. Dengan kata lain, organisasi internasional memainkan peran yang minim dalam mempertahankan kedamaian dan keamanan. Terlepas dari ada atau tidaknya perimbangan kekuasaan, perang akan tetap terjadi. Walaupun organisasi internasional mempunyai sedikit peran dalam perdamaian dan keamanan, tetap saja organisasi internasional berguna bagi kedua belah pihak, baik itu powerful countries maupun non powerful countries. Bagi negara-negara powerful, organisasi internasional digunakan untuk mencapai kepentingan mereka, dan bagi negara-negara yang less power organisasi internasional digunakan sebagai suatu bentuk eksistensi diri dalam sistem yang ada..

Menurut Dag Hammarskjold, Sekjen PBB yang kedua juga memaparkan efektifitas sebuah organisasi internasional, dalam hal ini beliau mencontohkan efektifitas PBB. Menurut Dag Hammarskjold, organisasi harus menjadi sebuah ”mesin konferensi yang statis” atau ”alat pemerintah (negara anggota) yang dinamis” guna menghadirkan suatu tata dunia yang baru. Hammarskjold tidak menggambarkan peran supranasional, melainkan hanya suatu pelayanan sipil internasional yang memiliki kekebalan politik dan kompetensi semi legislatif untuk membantu semua negara mencapai kepentingan mereka yang mendesak dan terbatas.[2]

PBB misalnya sebagai agen yang dibentuk untuk menjaga perdamaian dunia tidak dapat dikatakan tidak berhasil, namun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa agen ini juga berhasil dalam mempertahankan perdamaian. Seperti yang Papp uraikan bahwa ” The United Nations’ success or failure as an international peacekeeping agency cannot be judged in black-and white- terms. National sovereignty of the five permanent members of the security council have thus been the major reason that UN peacekeeping operations have not been more successful”.[3]

Menurut Holsti dalam bukunya International Politics A Framework for Analysis, peran organisasi internasional sangat minim dalam mengatasi konflik dan menciptakn perdamaian. Dalam hal ini Holsti mengambil contoh LBB, sebagai organisasi internasional pertama yang didirikan untuk mengatasi konflik, LBB dinilai gagal dalam menjalankan tugasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Holsti ”The League of Nations and the peace it represented was a failure in the sense that the incidence of war and conflict was significantly higher in the postwar period than it had been in the previous century[4]

Begitu pula menurut Viotti dan Kauppi, seringkali kepentingan dan tujuan masing-masing negara bertentangan satu sama lain, sehingga terjadi konflik. Seperti yang diungkapkan Viotti dan Kauppi, ” The next problem they face is that the foreign policy objectives of any given state (or international and transnational organization, for taht matter) may conflict with each other and thus not be entirely compatible”. Jadi, walaupun ada organisai internasional, namun tetap saja organisasi internasional ini tidak mampu terlalu jauh masuk ke dalam sovereignity suatu negara.

Namun, walaupun para realis percaya bahwa organisasi internasional hanyalah perpanjangan tangan dari negara besar, dan lebih banyak memberikan keuntungan bagi negara-negara powerful, tetap saja organisasi internasional mampu memberikan sumbangan tersendiri bagi politik dunia, yaitu dengan memperjelas kemungkinan hubungan politik sesama anggotanya yang semula kabur. Hubungan politik ini tidak hanya terbatas pada negara-negara great power saja tapi juga neagra-neagra less power dapat berkontribusi juga. Berdasarkan data komparatif, melalui organisasi-organisasi internasional, negara-negara dapat menemukan pemecahan masalah yang tidak dapat dicapai melalui diplomasi bilateral, dan juga tingkat kerjasama dalam organisasi-organisasi internasional lebih ditentukan oleh pemberian mandat organisasi daripada sifat-sifat khas setiap negara anggotanya (ideologi, ekonomi, dan sebagainya). Selain itu, negara-negara yang saling bersaing dapat mengesampingkan persaingan mereka.[5]

Kesimpulan

Dari penjelasan Walter S. Jone diatas, penulis menilai bahwa sebenarnya, organisasi internasional itu tidak semata-mata tidak berguna dan memilki peran yang marjinal. Tetap saja ada beberapa keuntungan dari organisasi internasional, walaupun seperti yang diungkapkan oleh para realis bahwa organisasi internasional seringkali gagal dalam usaha perdamaian dunia akibat tidak dapat masuk ke dalam sovereignity suatu negara, namun organisasi internasional setidaknya mampu menjadi jembatan penghubung antara negara-negara powerful dengan negara-negara less power. Setidaknya dari masng-masing pihak saling membutuhkan untuk mencapai kepentingan dan objectives nya masing-masing. Terlihat bahwa sebenarnya disinilah negara berperan, negara dapat mengawasi perilaku-perilaku organiasi internasional,. Sepanjang organiasi internasional ini memberikan keuntungan bagi suatu negara, tidak ada salahnya untuk bergabung di dalam organisasi internasional tersebut, namun jika memang tidak menguntungkan suatu negara, maka tidak ada salahnya juga untuk tidak bergabung dalam suatu organisasi internasional.



[1] Martin Griffiths, Realism, Idealism & International Politics a reinterpretation (New York: Routedge, 1992) hlm. 37

[2] Dag Hammarskjold, “Two Differing Concepts of United Nations Assayed”, United Nations Review, vol. B, no. 9, September 1961, hal. 12-17.

[3] Daniel S. Papp, Contemporary International Relations; Framework for Understanding ( United States of America, Macmillan Publishing Company, 1991) hlm. 76.

[4] K. J. Holsti, International Politics; A Framework for Analysis ( New Jersey, Prentice Hall, 1992) hlm. 377.

[5] Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional; Kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional, dan Tatanan Dunia (Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm. 368-369.

Tidak ada komentar: