FENOMENA BRAIN DRAIN MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN BAGI INDONESIA?
Oleh: Sri Rezeki
Brain drain adalah fenomena dimana berimigrasinya penduduk dari suatu negara yang memiliki tingkat pendidikan dan skill yang tinggi ke negara lain yang diharapkan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan negara asalnya. Fenomena brain drain ini telah terjadi pada masa lampau dan terjadi di hampir semua belahan dunia. dimana banyak orang-orang pintar dari berbagai belahan dunia bermigrasi ke Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya. Negara-negara maju dalam hal ini dijadikan pelabuhan ilmu bagi para ahli.
Sebelum mengetahui apakah brain drain imenguntungkan atau merugikan, lebih baik jika kita memahami apa alasan terjadinya brain drain besar-besaran terutama seperti yang terjadi di benua Asia, Afrika, Kepulauan dan Haiti. Ada banyak faktor penyebab terjadinya brain drain, menurut Harianto (jurusan EP FE Universitas Sebelas Maret), setidaknya ada empat alasan mengapa terjadinya brain drain, yaitu :
1. Untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif karir yang terjamin.
2. Fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan tekhnologi yang memadai serta kesempatan untuk memperoleh pengalaman bekerja.
3. Tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi
4. Informasi yang sempurna atau agen di luar negeri biasanya memberikan informasi yang sangat bagus.
Masih menurut Harianto, selain adanya faktor penyebab, ada juga faktor terjadinya brain drain diantaranya :
a. biasanya orang-orang pintar ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
b. dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
c. keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi.
d. ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu.
e. adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
f. khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
g. ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang lebih baik selain meninggalkan negaranya.
h. dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
i. tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan politik, menghindari rezim represif yang mengekang kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan politik domestik yang tak kunjung berakhir.
j. tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.
Dari faktor penyebab dan pendorong diatas, sangat memungkinkan terjadinya brain drain besar-besaran dari negrara-negara berkembang ke negara-negara maju, terutama jika menyangkut masalah ekonomi dan jaminan kehidupan yang layak.
Brain Drain = Menguntungkan?
Fenomena brain drain sangat menguntungkan, dibuktikan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang ini. Misalnya saja dalam hal telekomunikasi, bayangkan saja jika Alexander Graham Bell yang lahir dan besar di Skotlandia tidak hijrah ke Amerika untuk mengembangkan ilmunya, kemungkinan besar kita tidak mengenal adanya telepon, atau misalnya saja Jhon Von Neuman, seorang ahlikomputerisasi yang lahir dan besar di Hungaria, jika saja dia tidak bermigrasi ke Amerika Serikat untuk mengembangkan ilmunya, mungkin pada saat ini kita tidak mengenal adanya basis komputerisasi yang kita kenal sekarang dengan nama ”The Von Neuman Architecture”.
Fenomena brain drain pada dasarnya menguntungkan jika negara asal dari para imigran ”pintar” ini mampu mengelola para imigran ini dengan baik sehingga mereka dapat ditarik kembali ke negara asalnya dan dapat ikut membantu pemerintahnya untuk mengembangkan negara asal mereka. Negara-negara yang berhasil mengelola brain drain mereka menjadi reverse brain drain diantanya adalah India dan China. India, merupakan negara di belahan Asia dengan migran terbanyak selain Cina. Orang-orang pintar India tersebar di banyak negara maju. Bahkan banyak dari mereka yang lebih berhasil daripada penduduk asli dimana mereka menetap sekarang.
Para imigran India ini tidak lantas melupakan negara tercintanya, India. Mereka, khususnya para ahli dan profesor, berbondong-bondong kembali ke negara asalnya dengan cara mengajar disana, ataupun berinteraksi langsung dengan para peneliti disana. Kesempatan ini mereka lakukan biasanya pada saat cuti panjang ataupun pada saat liburan. Adanya ikatan yang kuat sebagai bangsa India membuat mereka ingin kembali dan mengembangkan negaranya.
Ikatan yang kuat ini dicerminkan dalam berbagai jaringan diaspora yang bertujuan untuk mengingatkan para ilmuwan India ini bahwa mereka berasal dari India dan memliki tanggung jawab untuk mengembangkan negarnya. Menurut Pan Mohammad Faiz (Seorang penulis di berbagai media cetak dan seorang observer hukum konstitusi), terdapat beberapa jaringan diaspora yang mengikat para ilmuwan India. Beberapa diaspora keilmuan yang menaungi para ilmuwan India diantaranya Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST).
Begitu juga dengan Cina, pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat, tak ayal didukung oleh para imigrannya yang sukses di tanah rantau. Para saudagar maupun ilmuwan yang sukses tersebut berbondong-bondong kembali ke Cina, mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dan menanamkan investasi yang besar bagi negaranya. Ikatan satu tanah air dan bangsa juga mereka wujudkan dengan adanya China Town. Coba saja pergi ke berbagai negara, dan kita pasti akan melihat adanya China Town ini.
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya Brain Drain sangat menguntungkan negara asal jika saja negara asal ini mampu untuk mengelola para ”orang pintar” ini dengan baik. Negara asal dapat memanfaatkan ilmu yang ”orang pintar” miliki untuk mengembangkan negara..
Brain Drain = Merugikan?
Masalah brain drain ini menjadi momok yang menakutkan bagi negara-negara berkembang dimana mereka tidak dapat menjamin kelayakan hidup warga negaranya sehingga harus rela kehilangan ”generasi-generasi emasnya”. Banyak kasus di negara-negara berkembang dimana para ”orang pintarnya” tidak mau kembali ke negara asalnya, termasuk yang dialami oleh Indonesia. Untuk kasus Indonesia, sekitar 5% migran melakukan brain drain ke negara-negara maju dan kebanyakan dari mereka ini lupa untuk kembali ke negara asalnya, Indonesia. Mereka seakan dibuai oleh kesuksesan di tanah rantau. Indonesia ternyata tidak sendiri,
Benua Afrika bahkan lebih ironis lagi, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 ekspaktriat profesional yang bekerja di benua miskin tersebut. Benua miskin ini sepertinya tidak dapat mengelola ”orang pintarnya” dengan baik, padahal jika dapat mengelola mereka dengan baik, mungkin saja jika benua ini akan lenih maju dari sekarang.
Brain drain untuk kasus Indonesia
Brain drain bukan merupakan cerita baru untuk Indonesia, Indonesia bisa dibilang merupakan salah satu negara yang dirugikan akibat brain drain ini. Banyak ”orang pintar” Indonesia yang malas untuk pulang dan mengembangkan negaranya. Kita tidak dapat serta merta menyalahkan mereka karena memang kondisi dalam negeri menyebabkan mereka malas untuk pulang. Yang perlu pemerintah Indonesia lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menmbentuk suatu jaringan diasopra yang kuat yang dapat mengikat semua imigran Indonesia di luar negaeri, misalnya dengan membuat suatu perkumpulan untuk semua orang Indonesia di luar negeri, atau membuat jaringan keilmuan seperti yang dilakukan oleh India.
Bisa juga dengan membuat China Town versi Indonesia, misalnya Indonesia Town. Hal ini dapat membuat rasa memiliki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar