Pengikut

What is the capital city of Haiti?

Senin, 15 Februari 2010

Jumat, 12 Februari 2010

PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL MENURUT PENDEKATAN REALIS

TUGAS REVIEW I MATA KULIAH ORGANISASI INTERNASIONAL

Nama : Sri Rezeki

NPM: 0806322962

Sumber : Kelly-Kate S. Pease, International Organizations; Perspectives on Governance in the 21st Century (New Jersey: Prentice Hall, Inc, 2000)

PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL MENURUT PENDEKATAN REALIS

Apa itu Pendekatan Realis?

Realisme adalah pendekatan teoritis dari hubungan internasional dan dikenal secara meluas sebagai worldview. Realisme juga dikenal sebagai power politics atau realpolitik. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana negara memperoleh, mempetahankan dan juga menggunakan power. Realis memfokuskan dirinya kepada negara bangsa, dan analisis langsung terhadap beberapa isu khusus dari internasional isu seperti keamanan, perang, dan bentuk konflik kekerasan lainnya.

Realis berasal dan berkembang dari pengalaman sejarah Eropa dan juga dari para sarjana. Hal ini juga yang kemudian mendasari kenapa realis menekankan pada keamanan dan perang. Seperti yang kita ketahui bersama, benua Eropa mengalami beberapa konflik brutal, mulai dari Perang 30 Tahun (1618-1648), Perang Napoleon (1803-1815), Perang Dunia pertama (1914-1918) hingga Perang Dunia Kedua (1939-1945). Pengalaman pereang dan imperialisme kemudian membentuk suatu framework dalam pemahaman hubungan internasional dan pada benua-benua lain selain Eropa menerapkan framework ini sehingga menjadi worldview.

Filososfi tradisional realisme berasal dari seorang sejarawan besar Athena yaitu Thucydides. Filosofi Thucydides ini pun sebenarnya berasal dari pemahamannya terhadap Perang Peloponesia yang melibatkan tiga negara kota yaitu Melos, Athena, dan Lacedaemonia. Dalam pemahamannya tentang perang ini, Thucydides menemukan peran rasa takut, kekuatan, dan aliansi antar negara kota yang berkompetisi. Selain Thucydides ada beberapa sarjana lainnya yang menganalisis tentang pendekatan realis. Mereka adalah Niccolo Machiaveli dengan analisis klasiknya dalam The Prince, Thomas Hobbes dengan analisisnya mengenai sifat dan kondisi manusia, Carl von Clausewitz dengan analisisnya dalam On War, dan Alexander Hamilton dengan analisisnya tentang politik dalam ekonomi.

Namun, apapun analisis para sarjana ini mengenai pendekatan realisme, asumsi yang mereka hasilkan mengarah kepada empat asumsi dasar dari pendekatan realis. Empat asumsi tersebut adalah :

  1. Negara adalah aktor paling penting dalam hubungan internasional; negara ataupun wakil negara (pemerintah) memiliki keputusan final dalam pengambilan keputusan di jurisdiksi teritori mereka. Jadi menurut realis, hubungan internasional sejak tahun 1648 adalah aktivitas dan interaksi antar negara bangsa.
  2. Negara adalah unitary dan rasional aktor; realis menyadari bahwa negara adala sebuah unit yang terdiri dari individu, grup dan berbagai aktor pemerintahan seperti legislatif dan birokrasi. Realis juga menyadari bahwa negara adalah aktor yang rasional yang mampu untuk mengidentifikasi tujuan dan kepentingannya sendiri.
  3. Hubungan Internasional adalah konfliktual; tradisional realis melihat hubungan internasional sebagai sesuatu yang konfliktual karena mereka pesimis terhadap sifat manusia itu sendiri. Tradisional realis semacam Morghentau, E.E Carr, dan Hobbes melihat bahwa sifat asli manusia adalah egois dan agresif sedangkan negara diciptakan oleh manusia, jadi negara juga memiliki sifat yang sama dengan sifat asli manusia. Seperti yang diungkapkan dalam pandangan Morghentau ”the relations between nations are not essentially different from the relations between individuals; they are only relations between individuals on a wider scale”. [1] Menurut para struktural realis semacam Kenneth Waltz, hubungan internasional bersifat konfliktual karena sistem internasional yang anarki dan adanya perimbangan kekuasaan.
  4. Isu keamanan dan geostrategi mendominasi agenda internasional; karena situasi lingkungan internasional yang tidak ramah dan mengerikan dengan konsekwensinya adalah perang dunia, maka keamanan nasional adalah prioritas utama bagi suatu negara. Isu-isu lainnya seperti ekonomi, HAM, lingkungan dan kemiskinan menjadi prioritas berikutnya.

Pendekatan Realis dalam Organisasi Internasional

Realis percaya bahwa sistem internasional bersifat anarki, yang berarti tidak ada kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional dimana setiap negara memiliki otoritas masing-masing. Namun pada kenyataannya, hirarki kekuatan tetap saja ada dalam internasional sistem. Realis mengklasifikasikan negara dalam bentuk hirarki ini sebagai super, middle, dan juga lesser power. Dan karena alasan inilah organisasi internasional diperlukan. Menurut realis, organisasi internasioanl akan menghadirkan hirarki sosial negara-negara dimana interest dari kekuatan penuh diinstitusionalisasikan.

Realis menyadari bahwa organisasi internasional adalah suatu bentuk kontrol dari negara-negara powerful terhadap negara-negara less power. Hal ini terjadi karena pada dasarnya organisasi internasional dibentuk oleh negara-negara powerful tadi untuk kepentingan nasional mereka sendiri. Realis lebih memfokuskan pembentukan intergovenmental organization karena negara adalah aktor utama. Hegemoni yang ada dalam bentuk organisasi internasional pada akahirnya mempertahankan keberlangsungan hegemoni itu sendiri.

Organisasi internasional bagi para realis hanya sebagai perpanjangan tangan dari negara besar, jadi sifatnya hanyalah pelengkap dalam kepentingan negara untuk mencapai tujuannya. Organisasi internasional bahkan dapat diciptakan ketika negara-negara memilki kepentingan yang sama atau masalah yang sama. Bahkan bentuk kejasama ini dapat dilihat dalm bentuk Game Theory, suatu bentuk variasi pilihan teori rasional, dimana masing-masing negara memegang prinsip keuntungan absolut.

Bagi realis, organisasi internasional memainkan dua peranan, salah satu peranan tersebut adalah peran marjinal dalam dunia politik. Dengan kata lain, organisasi internasional memainkan peran yang minim dalam mempertahankan kedamaian dan keamanan. Terlepas dari ada atau tidaknya perimbangan kekuasaan, perang akan tetap terjadi. Walaupun organisasi internasional mempunyai sedikit peran dalam perdamaian dan keamanan, tetap saja organisasi internasional berguna bagi kedua belah pihak, baik itu powerful countries maupun non powerful countries. Bagi negara-negara powerful, organisasi internasional digunakan untuk mencapai kepentingan mereka, dan bagi negara-negara yang less power organisasi internasional digunakan sebagai suatu bentuk eksistensi diri dalam sistem yang ada..

Menurut Dag Hammarskjold, Sekjen PBB yang kedua juga memaparkan efektifitas sebuah organisasi internasional, dalam hal ini beliau mencontohkan efektifitas PBB. Menurut Dag Hammarskjold, organisasi harus menjadi sebuah ”mesin konferensi yang statis” atau ”alat pemerintah (negara anggota) yang dinamis” guna menghadirkan suatu tata dunia yang baru. Hammarskjold tidak menggambarkan peran supranasional, melainkan hanya suatu pelayanan sipil internasional yang memiliki kekebalan politik dan kompetensi semi legislatif untuk membantu semua negara mencapai kepentingan mereka yang mendesak dan terbatas.[2]

PBB misalnya sebagai agen yang dibentuk untuk menjaga perdamaian dunia tidak dapat dikatakan tidak berhasil, namun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa agen ini juga berhasil dalam mempertahankan perdamaian. Seperti yang Papp uraikan bahwa ” The United Nations’ success or failure as an international peacekeeping agency cannot be judged in black-and white- terms. National sovereignty of the five permanent members of the security council have thus been the major reason that UN peacekeeping operations have not been more successful”.[3]

Menurut Holsti dalam bukunya International Politics A Framework for Analysis, peran organisasi internasional sangat minim dalam mengatasi konflik dan menciptakn perdamaian. Dalam hal ini Holsti mengambil contoh LBB, sebagai organisasi internasional pertama yang didirikan untuk mengatasi konflik, LBB dinilai gagal dalam menjalankan tugasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Holsti ”The League of Nations and the peace it represented was a failure in the sense that the incidence of war and conflict was significantly higher in the postwar period than it had been in the previous century[4]

Begitu pula menurut Viotti dan Kauppi, seringkali kepentingan dan tujuan masing-masing negara bertentangan satu sama lain, sehingga terjadi konflik. Seperti yang diungkapkan Viotti dan Kauppi, ” The next problem they face is that the foreign policy objectives of any given state (or international and transnational organization, for taht matter) may conflict with each other and thus not be entirely compatible”. Jadi, walaupun ada organisai internasional, namun tetap saja organisasi internasional ini tidak mampu terlalu jauh masuk ke dalam sovereignity suatu negara.

Namun, walaupun para realis percaya bahwa organisasi internasional hanyalah perpanjangan tangan dari negara besar, dan lebih banyak memberikan keuntungan bagi negara-negara powerful, tetap saja organisasi internasional mampu memberikan sumbangan tersendiri bagi politik dunia, yaitu dengan memperjelas kemungkinan hubungan politik sesama anggotanya yang semula kabur. Hubungan politik ini tidak hanya terbatas pada negara-negara great power saja tapi juga neagra-neagra less power dapat berkontribusi juga. Berdasarkan data komparatif, melalui organisasi-organisasi internasional, negara-negara dapat menemukan pemecahan masalah yang tidak dapat dicapai melalui diplomasi bilateral, dan juga tingkat kerjasama dalam organisasi-organisasi internasional lebih ditentukan oleh pemberian mandat organisasi daripada sifat-sifat khas setiap negara anggotanya (ideologi, ekonomi, dan sebagainya). Selain itu, negara-negara yang saling bersaing dapat mengesampingkan persaingan mereka.[5]

Kesimpulan

Dari penjelasan Walter S. Jone diatas, penulis menilai bahwa sebenarnya, organisasi internasional itu tidak semata-mata tidak berguna dan memilki peran yang marjinal. Tetap saja ada beberapa keuntungan dari organisasi internasional, walaupun seperti yang diungkapkan oleh para realis bahwa organisasi internasional seringkali gagal dalam usaha perdamaian dunia akibat tidak dapat masuk ke dalam sovereignity suatu negara, namun organisasi internasional setidaknya mampu menjadi jembatan penghubung antara negara-negara powerful dengan negara-negara less power. Setidaknya dari masng-masing pihak saling membutuhkan untuk mencapai kepentingan dan objectives nya masing-masing. Terlihat bahwa sebenarnya disinilah negara berperan, negara dapat mengawasi perilaku-perilaku organiasi internasional,. Sepanjang organiasi internasional ini memberikan keuntungan bagi suatu negara, tidak ada salahnya untuk bergabung di dalam organisasi internasional tersebut, namun jika memang tidak menguntungkan suatu negara, maka tidak ada salahnya juga untuk tidak bergabung dalam suatu organisasi internasional.



[1] Martin Griffiths, Realism, Idealism & International Politics a reinterpretation (New York: Routedge, 1992) hlm. 37

[2] Dag Hammarskjold, “Two Differing Concepts of United Nations Assayed”, United Nations Review, vol. B, no. 9, September 1961, hal. 12-17.

[3] Daniel S. Papp, Contemporary International Relations; Framework for Understanding ( United States of America, Macmillan Publishing Company, 1991) hlm. 76.

[4] K. J. Holsti, International Politics; A Framework for Analysis ( New Jersey, Prentice Hall, 1992) hlm. 377.

[5] Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional; Kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional, dan Tatanan Dunia (Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm. 368-369.

WHAT WOULD INDONESIA’S FOREIG N POLICY BE FOR NEXT FIVE YEARS?

Indonesian Foreign Policy Lecture’s Assignment

Name : Sri Rezeki

NPM: 0806322962

WHAT WOULD INDONESIA’S FOREIG N POLICY BE FOR NEXT FIVE YEARS?

Foreign policy is the policy that related to international activities. This policy is produced by the government as the basic for Indonesia’s foreign affairs. Every country in the world has its own foreign policy, so does Indonesia. Indonesia’s foreign policy is needed to make any action within have relations to other countries. Indonesia next five years foreign policy might same like 5 years ago, it probably changed yet doesn’t have much changes. Indonesia’s foreign policy could characteristic are more liberal, more active for the international forum or international summit yet it doesn’t play important role within economic aspects, Indonesia would be take same role as object for the market, not being subject for the market. It could be proven in the G-20 summit, Indonesia only get a chance for speaking about environment, not about economic.

Indonesia’s foreign policy would tighten its relationship to big and rich Asian countries such as China, Japan, and South Korea. These countries would be bigger and promising investor. They could be great fund source for Indonesia except United States of America. Besides, Indonesia and these three huge Asian country had a good relationship in ASEAN+3, hence I believe this cooperation would be continued and tighter. Indonesia’s next foreign policy not only tends to economic but also national security moreover for the transnational crime cases such as terrorist, illegal immigrant, etc. Indonesia’s foreign policy also characterized as more active within foreign affairs. Indonesia will join many international forum or international summit which related to economic.

I think Indonesia’s next foreign policy would be branded as pragmatic and flexible foreign policy. Why I said pragmatic because Indonesia always tends to have tighten relations to another countries which bringing benefit for Indonesia itself, moreover if the benefit is economic advantages. For instance, Relationship between Indonesia and Japan is tighter than relationship between Indonesia and Sweden. Indonesia and Japan has making many sisters city between them such as Lombok and Kyoto, Jakarta and Tokyo, etc. Compare to Sweden, Japan is more important because it brings much benefit for Indonesia.

Beside that, according to Michael Leffer within his book “Politik Luar Negeri Indonesia”, Indonesia wants have good relation to a country that ready to help Indonesia and bring little risk than a country that bring much risk. From those data above i think Indonesia’s foreign policy would be more pragmatic than today. Second brand is flexible. Why I said Indonesia’s foreign policy would be flexible because Indonesia’s foreign policy would be adjusted to international situation, Indonesia also will making friend to many more countries for creating a good networking for Indonesia itself. Hence, Indonesia next five years foreign policy would be branded as pragmatic and flexible foreign policy.

For next five years, Indonesia would face some strategic issues based on the threat such as transnational issues and healthy issues. We can’t deny that these two issues are there in Indonesia. It becomes a scary issues for human, terrorist case and endemic disease would still shadowy our next years. For the terrorist case for example, although government success murdered two chairs of terrorists, bombing in Indonesia doesn’t mean would also stopped. There are many followers of these terrorist. They could do suicide bomb whenever they think it is. So that Indonesia’s government has to still aware for this case. They could attack us again, whenever we don’t aware. It becomes a real strategic issue and a great threat for us,

A second strategic issue based on the threat is healthy issue. As we know, endemic disease as instance, avian influenza or swine flu has threatened our daily life, not only for Indonesia but also each country has aware for these endemic disease and inevitably maybe there are more endemic disease which can arise next days. Besides that, another strategic issue is might come from our neighbor countries that close to us, The strategic issue for next 5 years might territorial state conflict among neighborhood or claimed to another country territorial area. Smuggling weapon from one country to another country would be a next another strategic issue. Indonesia has to be aware for those strategic issues above.

Neighborhood conflicts often happen in Southeast Asia countries, Indonesia and Malaysia conflict for instance. Although we have forum named ASEAN, but it still don’t have more contribution if conflict happen. Since it birthday, August, 8 1967, ASEAN have 10 members already. Indonesia is one of five pioneers for this region organization. ASEAN nowadays has also new named for adding three developed countries which are China, Japan, and South Korea. ASEAN has its own project by 2015. It named ASEAN Community, this project’s goal are to strengthen friendship among members, more cooperation within economic and regional stability as a goal of this regional organization. This ASEAN has three pillars such as politic-security cooperation, economic cooperation, and socio-cultural cooperation. These pillar are used to reach the goals of the ASEAN.

Indonesia as the member of ASEAN has to contribute for making this ASEAN Community reliable one. Indonesia could contribute within keep the regional stability. Indonesia actually has the leadership skill; another country could get this leadership. It’s proved when Indonesia asked other ASEAN countries for helping making a solve way for Thailand refugees case. Indonesia could held ASEAN summit(January, 5th 2005) even few days after tsunami, it’s the prove of Indonesia’s will to stand soon after the disaster.

Indonesia also could contribute within economic, although it won’t play a very important role but at least Indonesia could make the market more “life”. Indonesia’s economic maybe not as great as Singapore or Malaysia but Indonesia could give ideas how to make the regional economic stability. So that Indonesia’s foreign policy has to ASIAN-oriented, like Emil Salim has said “The world is changing, interdependence is the name of the game. We should depend on Asia because it is the future of the world.” Who knows if every ASEAN countries tighten their relationship, ASEAN someday could like European Union.

It sounds like huge dream, but I know it could happen if each country in Southeast Asia cooperate each other, tighten their relation, making a good blue print for ASEAN goals and consistently through and obey the blue print, and the last don’t make any dependency to developed country because they inevitably would make each economic ASEAN countries weak at all. Not making any dependency doesn’t mean ASEAN countries don’t have cooperation with them, it could still cooperate with more developed countries but don’t let them make us depend to them. One ASEAN country could make some dependencies to other ASEAN countries itself.. At least it is done for developed regional economic stability that slowly could make more stability for each country in ASEAN.

Besides foreign policy, Indonesia has its own world view too. The Indonesia’s world view is reflecting president’s view. How one president sees the world within his/her perspective would reflect to Indonesia’s world view. This world view itself for next steps becoming Indonesia’s foreign policies. Each president has their own world view history that leaves marking in Indonesia’s development. Start from Soekarno who more radical that hates colonialism that much thereby his worldview is more socialist, his view is political revolutionary.

Soeharto, the second president is more liberal than Soekarno, he attempted to make balance aiding from west and east, from USA to China, his foreign policy is very pragmatic, as long as other countries creating economic benefit for Indonesia, Soeharto would tighten the relationship to those countries. His view is more economical, his goal is to make Indonesia aspire to become Asian “tiger”. Next president in reformation era,

Habibie to SBY still sustain Indonesia’s inspiration to become a leader, Indonesia wants to play a major role, Indonesia knows that USA still play the most important major, so that Indonesia has to always adjust its worldview and foreign policy according to international situation particularly and domestic situation generally. It also wants to be a subject not an object and those goals are still remains till now, whoever the president is. That’s what this theme tries to convey. So that we will always try to do our best for making Indonesia as a major role comes true.

FENOMENA BRAIN DRAIN MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN BAGI INDONESIA?

FENOMENA BRAIN DRAIN MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN BAGI INDONESIA?
Oleh: Sri Rezeki

Brain drain adalah fenomena dimana berimigrasinya penduduk dari suatu negara yang memiliki tingkat pendidikan dan skill yang tinggi ke negara lain yang diharapkan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan negara asalnya. Fenomena brain drain ini telah terjadi pada masa lampau dan terjadi di hampir semua belahan dunia. dimana banyak orang-orang pintar dari berbagai belahan dunia bermigrasi ke Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya. Negara-negara maju dalam hal ini dijadikan pelabuhan ilmu bagi para ahli.

Sebelum mengetahui apakah brain drain imenguntungkan atau merugikan, lebih baik jika kita memahami apa alasan terjadinya brain drain besar-besaran terutama seperti yang terjadi di benua Asia, Afrika, Kepulauan dan Haiti. Ada banyak faktor penyebab terjadinya brain drain, menurut Harianto (jurusan EP FE Universitas Sebelas Maret), setidaknya ada empat alasan mengapa terjadinya brain drain, yaitu :
1. Untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif karir yang terjamin.
2. Fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan tekhnologi yang memadai serta kesempatan untuk memperoleh pengalaman bekerja.
3. Tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi
4. Informasi yang sempurna atau agen di luar negeri biasanya memberikan informasi yang sangat bagus.
Masih menurut Harianto, selain adanya faktor penyebab, ada juga faktor terjadinya brain drain diantaranya :
a. biasanya orang-orang pintar ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
b. dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
c. keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi.
d. ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu.
e. adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
f. khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
g. ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang lebih baik selain meninggalkan negaranya.
h. dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
i. tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan politik, menghindari rezim represif yang mengekang kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan politik domestik yang tak kunjung berakhir.
j. tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.
Dari faktor penyebab dan pendorong diatas, sangat memungkinkan terjadinya brain drain besar-besaran dari negrara-negara berkembang ke negara-negara maju, terutama jika menyangkut masalah ekonomi dan jaminan kehidupan yang layak.
Brain Drain = Menguntungkan?
Fenomena brain drain sangat menguntungkan, dibuktikan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang ini. Misalnya saja dalam hal telekomunikasi, bayangkan saja jika Alexander Graham Bell yang lahir dan besar di Skotlandia tidak hijrah ke Amerika untuk mengembangkan ilmunya, kemungkinan besar kita tidak mengenal adanya telepon, atau misalnya saja Jhon Von Neuman, seorang ahlikomputerisasi yang lahir dan besar di Hungaria, jika saja dia tidak bermigrasi ke Amerika Serikat untuk mengembangkan ilmunya, mungkin pada saat ini kita tidak mengenal adanya basis komputerisasi yang kita kenal sekarang dengan nama ”The Von Neuman Architecture”.
Fenomena brain drain pada dasarnya menguntungkan jika negara asal dari para imigran ”pintar” ini mampu mengelola para imigran ini dengan baik sehingga mereka dapat ditarik kembali ke negara asalnya dan dapat ikut membantu pemerintahnya untuk mengembangkan negara asal mereka. Negara-negara yang berhasil mengelola brain drain mereka menjadi reverse brain drain diantanya adalah India dan China. India, merupakan negara di belahan Asia dengan migran terbanyak selain Cina. Orang-orang pintar India tersebar di banyak negara maju. Bahkan banyak dari mereka yang lebih berhasil daripada penduduk asli dimana mereka menetap sekarang.
Para imigran India ini tidak lantas melupakan negara tercintanya, India. Mereka, khususnya para ahli dan profesor, berbondong-bondong kembali ke negara asalnya dengan cara mengajar disana, ataupun berinteraksi langsung dengan para peneliti disana. Kesempatan ini mereka lakukan biasanya pada saat cuti panjang ataupun pada saat liburan. Adanya ikatan yang kuat sebagai bangsa India membuat mereka ingin kembali dan mengembangkan negaranya.
Ikatan yang kuat ini dicerminkan dalam berbagai jaringan diaspora yang bertujuan untuk mengingatkan para ilmuwan India ini bahwa mereka berasal dari India dan memliki tanggung jawab untuk mengembangkan negarnya. Menurut Pan Mohammad Faiz (Seorang penulis di berbagai media cetak dan seorang observer hukum konstitusi), terdapat beberapa jaringan diaspora yang mengikat para ilmuwan India. Beberapa diaspora keilmuan yang menaungi para ilmuwan India diantaranya Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST).
Begitu juga dengan Cina, pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat, tak ayal didukung oleh para imigrannya yang sukses di tanah rantau. Para saudagar maupun ilmuwan yang sukses tersebut berbondong-bondong kembali ke Cina, mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dan menanamkan investasi yang besar bagi negaranya. Ikatan satu tanah air dan bangsa juga mereka wujudkan dengan adanya China Town. Coba saja pergi ke berbagai negara, dan kita pasti akan melihat adanya China Town ini.
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya Brain Drain sangat menguntungkan negara asal jika saja negara asal ini mampu untuk mengelola para ”orang pintar” ini dengan baik. Negara asal dapat memanfaatkan ilmu yang ”orang pintar” miliki untuk mengembangkan negara..
Brain Drain = Merugikan?
Masalah brain drain ini menjadi momok yang menakutkan bagi negara-negara berkembang dimana mereka tidak dapat menjamin kelayakan hidup warga negaranya sehingga harus rela kehilangan ”generasi-generasi emasnya”. Banyak kasus di negara-negara berkembang dimana para ”orang pintarnya” tidak mau kembali ke negara asalnya, termasuk yang dialami oleh Indonesia. Untuk kasus Indonesia, sekitar 5% migran melakukan brain drain ke negara-negara maju dan kebanyakan dari mereka ini lupa untuk kembali ke negara asalnya, Indonesia. Mereka seakan dibuai oleh kesuksesan di tanah rantau. Indonesia ternyata tidak sendiri,
Benua Afrika bahkan lebih ironis lagi, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 ekspaktriat profesional yang bekerja di benua miskin tersebut. Benua miskin ini sepertinya tidak dapat mengelola ”orang pintarnya” dengan baik, padahal jika dapat mengelola mereka dengan baik, mungkin saja jika benua ini akan lenih maju dari sekarang.
Brain drain untuk kasus Indonesia
Brain drain bukan merupakan cerita baru untuk Indonesia, Indonesia bisa dibilang merupakan salah satu negara yang dirugikan akibat brain drain ini. Banyak ”orang pintar” Indonesia yang malas untuk pulang dan mengembangkan negaranya. Kita tidak dapat serta merta menyalahkan mereka karena memang kondisi dalam negeri menyebabkan mereka malas untuk pulang. Yang perlu pemerintah Indonesia lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menmbentuk suatu jaringan diasopra yang kuat yang dapat mengikat semua imigran Indonesia di luar negaeri, misalnya dengan membuat suatu perkumpulan untuk semua orang Indonesia di luar negeri, atau membuat jaringan keilmuan seperti yang dilakukan oleh India.
Bisa juga dengan membuat China Town versi Indonesia, misalnya Indonesia Town. Hal ini dapat membuat rasa memiliki

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERUBAHAN INSTITUSIONAL

TUGAS REVIEW I MATA KULIAH DIMENSI NORMATIF

Nama : Sri Rezeki

NPM : 0806322962

Sumber : Christian Reus Smit, ed. The Politics of International Law (Cambridge; Cambridge University Press, 2004)

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERUBAHAN INSTITUSIONAL

Bagaiamana Hubungan Politik dengan Hukum Internasional?

Di dalam suatu komunitas sosial, apapun aktivitasnya baik itu politik, ekonomi, militer, dan lain sebagainya, akan selalu ada hukum di dalamnya. Seperti yang Brierly katakan, ”Law exists only in a society, and a society cannot exist without a system of law to regulate the relations of its members with one another.” Oleh karena itu, untuk menganalisa hubungan antara politik dari hukum internasional dapat digunakan tiga bentuk level analisis, tiga level analisis tersebut yaitu :

  1. Level makro yaitu sistem peraturan atau institusional lingkungan yang mempertahankan adanya aktivitas sosial.
  2. Level Mikro yaitu domain aksi dan pengambilan keputusan oleh aktor-aktor secara individu.
  3. Level Meso yaitu gabungan dari struktur diatas (konkrit dan organisasional) yang diciptakan oleh manusia dan digunakan untuk mengkooordinasikan sistem dan tujuan.

Untuk mengetahui hubungan antara politik dari hukum internasional dengan pemerintahan, maka setidaknya ada empat argumen penting yaitu :

  1. Mendefinisikan dan mengkonsepsikan institusi dan pemerintahan sehingga perbedaan pernyataan-pernyataan tanpa bukti tidak relevan lagi.
  2. Komsentrasi kita terhadap sumber dan penggunaan kekuatan dalam masyarakat internasional.
  3. Mengembangkan secara relatif model abstrak bagaimana pembentukan dan pengembangan dalam dua jenis pengaturan sosial yaitu triadic dan dyadic.
  4. Mengilustrasikan ide-ide teoritis dengan mereferensikan hal tersebut kepada pengembangan bentuk triadic dari pemerintahan dalam konteks General Agreement on Tariffs and Trade dan bentuk dyadic dalam kasus intervensi kemanusiaan yang dipaksakan.

Institusi-Institusi

Sistem peraturan atau institusi memungkinkan aktor-aktor untuk menkonsep, mengejar dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginannya, namun juga untuk mengkoordinasikan keinginan-keinginan tersebut dengan individu-individu lainnya. Kita melihat istitusi sebagai struktur-struktur peraturan, peraturan tentunya beragam jenisnya, ada yang formal, otoritatif, mengikat dan sangat mungkin untuk mengikat kuat kepada organisasional lainnya dan begitu juga sebaliknya. Kita dapat melihat suatu institusi dari sebuah continuum. Pada bagian kiri continuum biasanya informal, dengan peraturan dan aktor tidak saling mengikat. Sedangkan bagian sebelah kanan dari continuum secara konteks institusional didefinisikan oleh peraturan yang sifatnya sangat formal, spesifik, dan otoratif.

Dalam level internasional, semua struktur institusi yang dibangun akan menerapkan spektrum yang berbeda-beda. Beberapa institusi internasional sangat formal, spesifik dan otoratif, contohnya Uni Eropa. GATT juga sama dalam hal ini namun kadar formal, spesifikasi dan otoritatifnya kurang dari Uni Eropa sehingga bermutasi ke dalam WTO (World Trade Organization).. Spektrum kiri biasanya dinamakan oleh para sarjana hubungan internasional dengan nama ”anarki”. Pada akhir spektrum kiri ini, sistem bargaininig, negosiais, dan koersi adalah mode standar interaksi. Sedangkan pada bagian kanan spektrum, politik lebih distrukurisasi oleh peraturan-peraturan resmi dan resolusi perdebatan secara yudisial. Instisusi adalah abstrak dan sangat berhubungan dengan norma dan hukum.

Aktor dan Aksi

Dalam setiap interakinya setiap aktor (manusia) adalah rasional dalam hal keinginan untuk memaksimalkan keuntungan. Dengan adanya paksaan dalam institusi dan juga terbatasnya sumber daya serta tidak sempurnanya informasi, aktor-aktor akan mengoptinalkan strategi-strategi yang digunakan untuk mengejar keinginan-keinginannya. Dalam keterbatasan tersebut, sistem normatif memgajarkan suatu aturan untuk lebih adil dan tidak asimetris sehingga dapat memberikan setidaknya keadilan untuk partai-partai kecil. Poinnya adalah norma selalu terlibat dalam politik. Pada situasi seperti sekarang ini dimana informasi tidak sempurna, maka institusi akan menjadi lebih penting untuk melihat bagaimana aktor menilai dunia mereka dan dalam memilih tindakan-tindakannya. Kita mengobservasi bahwa alasan orang-orang berbicara tentang peraturan adalah prima facie untuk menekankan sisi normatif yang merupakan analogi yang menghubungkan peraturan ke situasi, yang setidaknya innate dan dasar bagi manusia dalam kalkulasi utilitas.

Sebuah institusi memfasilitasi adanya resolusi konflik. Mereka melakukan hal tersebut dalam tiga cara yaitu dalam level sebagi aktor tunggal, sebuah norma dapat mencegah terjadinya konflik dengan menyiapkan setiap individu dengan tuntunan perilaku dan juga dengan menyusun pilihan-pilihan. Yang kedua adalah ketika sebuah konflik atau perdebatan timbul, norma dapat menyiapkan bagian-bagian yang dapat menyelesaikan perdebatan tersebut. Sistem ini kemudian dikenal dengan nama dyadic. Yang ketiga adalah adanya sistem peraturan bantuan orang ketiga dalam menyelesaikan perdebatan dengan menyediakan suatu pola untuk menentukan ciri-ciri dari perdebatan dan juga menyiapkan solusi yang kira-kira tepat untuk predebatan tersebut.

Segala bentuk resolusi konflik dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu dyadic dan triadic. Dalam konteks dyadic, bagian-bagian yang berkonflik menentukan sendiri solusi masalahnya, tanpa bantuan mediator, abitrasi, dan juri. Dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa sistem dyadic ini adalah anarki, sebab tidak ada penyelesaian konflik di luar bagian-bagian yang berkonflik itu sendiri. Pola dyadic ini dapat mengambil bentuk penyelesain konflik dengan penekanan, negosiasi, persuasi. Bentuk-bentuk dari pola dyadic ini adalah misalnya masalah manajemen dan pekerja, konflik dalam negeri, dan lain sebagainya. Pola dyadic ini tidak dapat dideskripsikan hanya dua aktor saja, sebuah konflik multilateral dapat juga disebut dyadic karena pada dasarnya pengertian dari dyadic sistem ini adalah absennya peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik.

Pola resolusi triadic secara alami menekankan pada adanya pihak ketiga dalam penyelesaian masalah yang menekankan pada cara menemukan penyelesaian konflik. Jadi dari anarki ke hirarki. Pada pola triadic ini diperlukan adanya mediator, arbitator ataupun juri. Jadi karena dyadic ada dalam continuum kiri dan triadic ada di di continuum kanan, maka saat suatu konflik mulai melibatkan pihak ketiga maka continuum ini dapat dikatakan bergerak dari kiri ke kanan, sebagai bentuk vis-a-vis yang meningkatkan dan menginstitusionalisasikan secara lebih formal dan prosedural.

Resolusi Perdebatan Triadic dalam Rezim Perdagangan Internasional

Rezim perdagangan internasional diaman kekuatan yudisial mulai diperkenalkan. Dengan kekuatan yudisial, kita mengartikan kapasitas dari resolver perdebatan triadic secara berwenang memaknai isi dari struktur norma dalam masyarakat. GATT berdiri sejak tahun 1948 dan kemudian diinstitusionalisasikan sebagai sebuah organisasi ”anti-legalisme.”[1] Para diplomat kemudian mengeluarkan para pengacara dari bagian GATT dan menentang memperkarakan pelanggaran perjanjian. Pada tahun 1950, TDR (Triadic Dispute Resolution) tergabung dalam suatu bentuk sistem panel. Panel terdiri tiga sampai lima orang anggota, biasanya para diplomat GATT, memiliki otoritas atas dua negara yang sedang berkonflik. Pada periode 1970an dan 1980an, sistem mulai diyudisialisasikan. Negara-negara mulai secara agresif memperkarakan perdebatan, panel-panel mulai memperlakukan perjanjian sebagai hukum yang dapat dipaksakan, dan pemahaman mereka terhadap hukum itu sebagai otoritas konstitusi terdahulu, para hakim dan spesialis perdagangan mulai menggantikan para diplomat sebagai panel. Sampai sekarang sistem ini masih digunakan dalam institusi yang bernama WTO.

Struktur Normatif dan Resolusi Perdebatan

GATT adalah perjanjian komersial yang paling komprehensif sepanjang sejarah, pemerintahan sekarang lebih dari lima per enam perdagangan dunia. Dalam periode 1955-1974, setidaknya terjadi lonjakan anggota dari 34 menjadi 100 negara, dan 124 menandatangani Uruguay Round (merupakan dasar dari penegakan WTO pada tahun 1993). Perjanjian ini menunjukkan kepada anggota-anggota bagaimana menyelesaikan perdebatan mereka secara dyadic, dengan panduan peraturan-peraturan GATT. Potensi sebuah konflik perdagangan untuk beralih ke panggung triadic diicontohkan dengan ”jika satu negara A dapat menunjukkan bahwa dia menderita keruguian karena pelanggaran hukum GATT oleh negara B, maka negara A berwenang mewakili semua anggota GATT untuk menarik keuntungan yang akan secara normal diwajibkan kepada negara B. Bagaimanapun, negara anggota dapat menciptakan sistem panel untuk menyelesaikan perdebatan.

Sejak diinstitusionalisasikan pada tahun 1950an, sistem kemudian mencampurkan antara mediasi dan keputusan hakim konsensual melawan sebuah latar belakang resolusi dyadic. Para diplomat dan generalist perdagangan yang duduk sebagai panel. Pada saat mediasi gagal, para panel dapat menyelesaikan konflik dengan perjanjian yang relevan dan dengan persetujuan dari disputants. Awal tahun1970an, negara-negara besar kembali kepada sistem panel, dipimpin oleh Amerika Serikat, tidak hanya untuk menyelesaikan konflik perdagangan mereka, namun juga untuk membuat kebijakan perdagangan. Empat negara perdagangan terbesar diantaranya Kanada, EC, Jepang, dan Amerika Serikat kemudian mendominasi proses panel. Aksi final dari Uruguay Round adalah bertransformasinya GATT ke dalam WTO, 2

Resolusi Perdebatan dan Perubahan Normatif dalam Konteks Dyadic

Walaupun lahan resolusi perdebatan dyadic telah ada dalam hubungan internasional, kebanyakan interaksi internasional pada dasarnya adalah dyadic. Pertentangan antara aktor-aktor internasional terkadang mengikutsertakan resolusi dari pihak ketiga, melalui abitrasi, mediasi, atau refernsi dari pengadilan supranasional atau bentuk mekanisme formal lainnya. Pada dasarnya aktor-aktor internasional tersebut ingin mengajak rivalnya dan pihak ketiga tersebut ke dalam pandangan dan argumen mereka. Secara ekstrim kita dapat katakan bahwa aktor-aktor dengan kekuatan besar dapat memaksakan solusi kepada aktor lainnya yang leespower. Negara-negara berkekuatan besar ini kemudian berusaha untuk menunjukkan bahwa pilihan mereka adalah secara normatif dibenarkan. Pada sisi ekstrim lainnya, ketika tidak aktor tunggal yang dapat memaksakan sebuah solusi, argumen normatif tentang aksi apa yang dibenarkan menjadi sangat krusial dalam membangun suatu konsensus.

Penulis percaya bahwa sekalipun suatu aktor memiliki power lebih namun tetap saja dalam aktivitas politik internasionalnya ada norma-norma hukum yang mengiringi. Sudah merupakan ketentuan alam bahwa di saat individu-individu mengatur kehidupan mereka dalam suatu masyarakat, mereka segera perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungannya satu sama lain. Demikian juga dengan masyarakat politik yang dalam hubungannya satu sama lain merasa perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur segala macam hubungan dan kegiatan yang mereka lakukan.[2] Jadi, walaupun suatu negara sangat kuat dengan power yang luar biasa, tetap akan ada kontrol dari hukum internasional. Seperti yang Hart ungkapkan dalam bukunya The Concept of Law, ”legal control is therefore primarily, though not exclusively, control by directions which are in this double sense general.“[3]

Dalam hal ini kemudian terdapat pendapat bahwa bahkan aktor-aktor yang memiliki power lebih tidak berperan di luar struktur normatif. Dalam porsi dyadic khususnya dalam hubungan internasional dimana tidak adanya resolver perdebatan yang berwenang, dinamisme evolusi normatif tidak mudah dalam mengurangi penggunaan power. Tiga argumen yang kemudian mendukung pernyataan ini adalah rentang perdebatan dapat dihilangkan oleh aplikasi unilateral dari koersi yang kemudian berkurang. Kedua adalah aktor-aktor berkekuatan besar berperilaku sesuai dengan sebuah perangkat peraturan yang biasanya mereka buat sendiri daripada warisan dari aktor-aktor sebelumnya. Ketiga adalah Aktor-aktor yang powerful ini nilai-nilainya, tujuan-tujuannya,dan pilihan-pilihannya dibentuk dari struktur normatif yang telah ”didomestikasi”. Bentuk intervensi paksaan kemanusiaan yang dilakukan oleh security council PBB misalnya yang bertujuan untuk mengurangi terjadi pelanggaran hak asasi manusia, harus tetap berada di bawah kontrol hukum internasional.

Pada dasarnya hukum internasional percaya pada persfektif neorealis yang percaya pada pemahaman kenapa dan bagaimana aktor-aktor membangun sebuah susunan institusional baru yang membantu mereka untuk mencapai tujuannya. Namun ternyata, realis gagal dalam menyediakan sebuah account yang menjanjikan dari sisi normatif dan juga gagal dalam menjelaskan perubahan institusional yang krusial dan dinamis.Dalam hal ini ada dua tipe teori yaitu nomative-ideational dan material-physical power dimana kedua tipe ini mungkin berbeda satu sama lain namun sebenarnya mereka berhubungan dalam hal berbagai kepentingan berdasarkan konteks sosial. Dalam konteks triadic, prosedur resolusi perdebatan formal dapat secara eksplisit dilarutkan dengan memaksakan bagian-bagian di dalamnya untuk bersatu dalam sebuah bentuk normatif argumen. Sedangkan dalm konteks dyadic, material power kurang dapat dimediasikan namun dapat dibentuk oleh struktur normatif..

Penulis setuju jika terdapat hubungan erat antara hukum internasional dengan arena politik dalam hal ini hubungan internasional. Bukti bahwa antara hukum internasional dan hubungan internasional terjalin hubungan diantara keduanya adalah dengan adanya peran organisasi internasional sebagai pihak ketiga dalam hal ini, jika ada negara yang berada dalam keadaan konflik. Organisasi internasional ini misalnya PBB. Selain itu, organisasi internasional yang merupakan pihak ketiga ini juga merupakan subyek hukum internasional. Organisasi Internasional seperti PBB dan ILO mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnyasudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subyek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi-konvensi internasional tadi.[4]

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam peta politik dunia juga tidak lepas pengaruhnya dari perkembangan hukum internasional. Namun, perubahan-perubahan ini mempunyai akibat-akibat yang jauh bagi hukum internasional sehingga menyebabkan beberapa orang pesimis berbicara tentang krisis dalam hukum internasional. Kita yang melihatnya sebagai proses pertumbuhan dari susunan masyarakat yang tidak wajar, yaitu satu masyarakat internasional dimana azas-azas pokok pergaulan internasional yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan persamaan derajat internasional belum terwujud ke arah satu masyarakat dimana azas-azas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tidak dapat dielakkan[5]

Dasar normatif realisme dalam memandang dunia adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Maka masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada negara dan tidak meluas pada hubungan internasional yang merupakan arena politik dari kekacauan besar, perselisihan, konflik antara negara-negara dimana negara-negara berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.[6] Sehingga dalam teori bentyuk teori dyadic dimana adanya kasus intervensi kemanusiaan yang dipaksakan, terlihat bahwa norma internasional mengenai tidak bolehnya suatu negara lain melakukan intervensi ke dalam kedaulatan suatu negara, karena bagi konsep para realis, negara dan kedaulatannya tidak dapat diintervensi.

KESIMPULAN

Dalam pandangan realis yang sangat pesimis ini, ruang politik seakan tidak mempunyai

ruang untuk dikendalikan oleh norma hukum internasional karena semuanya kembali pada kedaulatan suatu negara, namun menurut penulis, walau bagaimanapun telah ada perubahan dalam sistem institusionalisasi, baik dalam konsep triadic melalui perubahan GATT menjadi bentuk yang lebih formal yaitu WTO, ataupun konsep dyadic melalui intervensi paksaan kemanusiaan yang dilakukan oleh security council PBB untuk mengurangi tingkat pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu neagra yang pada awalnya ditentang kemudian akhirnya disetujui asalkan tetap berada dalam kontrol norma-norma hukum internasional adalah merupakan perubahan institusional yang nyata.

Mengenai adanya intervensi, sebenarnya hukum internasional sangat melarang adanya intervensi dari suatu negara ke negara lain. Seperti yang Pak Boer Mauna katakan, sekalipun semua negara sepakat untuk tidak saling intervensi, namun pada kenyataan abad ke 20 seperti sekarang ini, negara-negara dapat melakukan intervensi satu sama lainnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya globalisasi yang menyebabkan tingkat ketergantungan antar negara semakin besar. Sehingga diperlukan perubahan institusional yang dapat membuat hukum internasional dapat mengikat kuat ke dalam aktivitas politik.

Dengan adanya perubahan institusional ke dalam bentuk yang lebih formal, kehidupan kita akan lebih baik, karena dengan adanya perubahan dalam bentuik yang formal ini, sertidaknya hukum internasional akan lebih mengikat sehingga suatu negara dapat lebih dikontrol tingkah lakunya, terutama aktivitas politiknya. Disini terlihat bahwa hubungan antara politik dan hukum internasional adalah saling mempengaruhi yang dalam hal ini dibuktikan dengan \hukum internasional yang mengandung norma-norma dan ketentuan-ketentuannya dapat mempengaruhi aktivitas politik suatu negara yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antar mayarakat internasional.



[1] Olivier Long, Law and its Limitations in the GATT Multilateral Trade System (Boston : Martinus Nijhoff, 1985)

[2] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung; P.T. Alumni, 2008)hlm. 4.

[3] H.L.A. Hart, The Concept of Law (London: Oxford University Press, 1961)hlm. 21.

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Bina Cipta, 1978) hlm. 95

[5] Joseph L Kunz, The Changing Law of Nations (London: A.J.I.L, 1957) hlm.. 379

[6] Robert Jackson dan George Sorensesn, Pengantar Studi Hubungan Internasional ( New York: Oxford University Press Inc, 1999)hlm. 89