Pengikut

What is the capital city of Haiti?

Jumat, 12 Februari 2010

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERUBAHAN INSTITUSIONAL

TUGAS REVIEW I MATA KULIAH DIMENSI NORMATIF

Nama : Sri Rezeki

NPM : 0806322962

Sumber : Christian Reus Smit, ed. The Politics of International Law (Cambridge; Cambridge University Press, 2004)

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERUBAHAN INSTITUSIONAL

Bagaiamana Hubungan Politik dengan Hukum Internasional?

Di dalam suatu komunitas sosial, apapun aktivitasnya baik itu politik, ekonomi, militer, dan lain sebagainya, akan selalu ada hukum di dalamnya. Seperti yang Brierly katakan, ”Law exists only in a society, and a society cannot exist without a system of law to regulate the relations of its members with one another.” Oleh karena itu, untuk menganalisa hubungan antara politik dari hukum internasional dapat digunakan tiga bentuk level analisis, tiga level analisis tersebut yaitu :

  1. Level makro yaitu sistem peraturan atau institusional lingkungan yang mempertahankan adanya aktivitas sosial.
  2. Level Mikro yaitu domain aksi dan pengambilan keputusan oleh aktor-aktor secara individu.
  3. Level Meso yaitu gabungan dari struktur diatas (konkrit dan organisasional) yang diciptakan oleh manusia dan digunakan untuk mengkooordinasikan sistem dan tujuan.

Untuk mengetahui hubungan antara politik dari hukum internasional dengan pemerintahan, maka setidaknya ada empat argumen penting yaitu :

  1. Mendefinisikan dan mengkonsepsikan institusi dan pemerintahan sehingga perbedaan pernyataan-pernyataan tanpa bukti tidak relevan lagi.
  2. Komsentrasi kita terhadap sumber dan penggunaan kekuatan dalam masyarakat internasional.
  3. Mengembangkan secara relatif model abstrak bagaimana pembentukan dan pengembangan dalam dua jenis pengaturan sosial yaitu triadic dan dyadic.
  4. Mengilustrasikan ide-ide teoritis dengan mereferensikan hal tersebut kepada pengembangan bentuk triadic dari pemerintahan dalam konteks General Agreement on Tariffs and Trade dan bentuk dyadic dalam kasus intervensi kemanusiaan yang dipaksakan.

Institusi-Institusi

Sistem peraturan atau institusi memungkinkan aktor-aktor untuk menkonsep, mengejar dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginannya, namun juga untuk mengkoordinasikan keinginan-keinginan tersebut dengan individu-individu lainnya. Kita melihat istitusi sebagai struktur-struktur peraturan, peraturan tentunya beragam jenisnya, ada yang formal, otoritatif, mengikat dan sangat mungkin untuk mengikat kuat kepada organisasional lainnya dan begitu juga sebaliknya. Kita dapat melihat suatu institusi dari sebuah continuum. Pada bagian kiri continuum biasanya informal, dengan peraturan dan aktor tidak saling mengikat. Sedangkan bagian sebelah kanan dari continuum secara konteks institusional didefinisikan oleh peraturan yang sifatnya sangat formal, spesifik, dan otoratif.

Dalam level internasional, semua struktur institusi yang dibangun akan menerapkan spektrum yang berbeda-beda. Beberapa institusi internasional sangat formal, spesifik dan otoratif, contohnya Uni Eropa. GATT juga sama dalam hal ini namun kadar formal, spesifikasi dan otoritatifnya kurang dari Uni Eropa sehingga bermutasi ke dalam WTO (World Trade Organization).. Spektrum kiri biasanya dinamakan oleh para sarjana hubungan internasional dengan nama ”anarki”. Pada akhir spektrum kiri ini, sistem bargaininig, negosiais, dan koersi adalah mode standar interaksi. Sedangkan pada bagian kanan spektrum, politik lebih distrukurisasi oleh peraturan-peraturan resmi dan resolusi perdebatan secara yudisial. Instisusi adalah abstrak dan sangat berhubungan dengan norma dan hukum.

Aktor dan Aksi

Dalam setiap interakinya setiap aktor (manusia) adalah rasional dalam hal keinginan untuk memaksimalkan keuntungan. Dengan adanya paksaan dalam institusi dan juga terbatasnya sumber daya serta tidak sempurnanya informasi, aktor-aktor akan mengoptinalkan strategi-strategi yang digunakan untuk mengejar keinginan-keinginannya. Dalam keterbatasan tersebut, sistem normatif memgajarkan suatu aturan untuk lebih adil dan tidak asimetris sehingga dapat memberikan setidaknya keadilan untuk partai-partai kecil. Poinnya adalah norma selalu terlibat dalam politik. Pada situasi seperti sekarang ini dimana informasi tidak sempurna, maka institusi akan menjadi lebih penting untuk melihat bagaimana aktor menilai dunia mereka dan dalam memilih tindakan-tindakannya. Kita mengobservasi bahwa alasan orang-orang berbicara tentang peraturan adalah prima facie untuk menekankan sisi normatif yang merupakan analogi yang menghubungkan peraturan ke situasi, yang setidaknya innate dan dasar bagi manusia dalam kalkulasi utilitas.

Sebuah institusi memfasilitasi adanya resolusi konflik. Mereka melakukan hal tersebut dalam tiga cara yaitu dalam level sebagi aktor tunggal, sebuah norma dapat mencegah terjadinya konflik dengan menyiapkan setiap individu dengan tuntunan perilaku dan juga dengan menyusun pilihan-pilihan. Yang kedua adalah ketika sebuah konflik atau perdebatan timbul, norma dapat menyiapkan bagian-bagian yang dapat menyelesaikan perdebatan tersebut. Sistem ini kemudian dikenal dengan nama dyadic. Yang ketiga adalah adanya sistem peraturan bantuan orang ketiga dalam menyelesaikan perdebatan dengan menyediakan suatu pola untuk menentukan ciri-ciri dari perdebatan dan juga menyiapkan solusi yang kira-kira tepat untuk predebatan tersebut.

Segala bentuk resolusi konflik dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu dyadic dan triadic. Dalam konteks dyadic, bagian-bagian yang berkonflik menentukan sendiri solusi masalahnya, tanpa bantuan mediator, abitrasi, dan juri. Dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa sistem dyadic ini adalah anarki, sebab tidak ada penyelesaian konflik di luar bagian-bagian yang berkonflik itu sendiri. Pola dyadic ini dapat mengambil bentuk penyelesain konflik dengan penekanan, negosiasi, persuasi. Bentuk-bentuk dari pola dyadic ini adalah misalnya masalah manajemen dan pekerja, konflik dalam negeri, dan lain sebagainya. Pola dyadic ini tidak dapat dideskripsikan hanya dua aktor saja, sebuah konflik multilateral dapat juga disebut dyadic karena pada dasarnya pengertian dari dyadic sistem ini adalah absennya peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik.

Pola resolusi triadic secara alami menekankan pada adanya pihak ketiga dalam penyelesaian masalah yang menekankan pada cara menemukan penyelesaian konflik. Jadi dari anarki ke hirarki. Pada pola triadic ini diperlukan adanya mediator, arbitator ataupun juri. Jadi karena dyadic ada dalam continuum kiri dan triadic ada di di continuum kanan, maka saat suatu konflik mulai melibatkan pihak ketiga maka continuum ini dapat dikatakan bergerak dari kiri ke kanan, sebagai bentuk vis-a-vis yang meningkatkan dan menginstitusionalisasikan secara lebih formal dan prosedural.

Resolusi Perdebatan Triadic dalam Rezim Perdagangan Internasional

Rezim perdagangan internasional diaman kekuatan yudisial mulai diperkenalkan. Dengan kekuatan yudisial, kita mengartikan kapasitas dari resolver perdebatan triadic secara berwenang memaknai isi dari struktur norma dalam masyarakat. GATT berdiri sejak tahun 1948 dan kemudian diinstitusionalisasikan sebagai sebuah organisasi ”anti-legalisme.”[1] Para diplomat kemudian mengeluarkan para pengacara dari bagian GATT dan menentang memperkarakan pelanggaran perjanjian. Pada tahun 1950, TDR (Triadic Dispute Resolution) tergabung dalam suatu bentuk sistem panel. Panel terdiri tiga sampai lima orang anggota, biasanya para diplomat GATT, memiliki otoritas atas dua negara yang sedang berkonflik. Pada periode 1970an dan 1980an, sistem mulai diyudisialisasikan. Negara-negara mulai secara agresif memperkarakan perdebatan, panel-panel mulai memperlakukan perjanjian sebagai hukum yang dapat dipaksakan, dan pemahaman mereka terhadap hukum itu sebagai otoritas konstitusi terdahulu, para hakim dan spesialis perdagangan mulai menggantikan para diplomat sebagai panel. Sampai sekarang sistem ini masih digunakan dalam institusi yang bernama WTO.

Struktur Normatif dan Resolusi Perdebatan

GATT adalah perjanjian komersial yang paling komprehensif sepanjang sejarah, pemerintahan sekarang lebih dari lima per enam perdagangan dunia. Dalam periode 1955-1974, setidaknya terjadi lonjakan anggota dari 34 menjadi 100 negara, dan 124 menandatangani Uruguay Round (merupakan dasar dari penegakan WTO pada tahun 1993). Perjanjian ini menunjukkan kepada anggota-anggota bagaimana menyelesaikan perdebatan mereka secara dyadic, dengan panduan peraturan-peraturan GATT. Potensi sebuah konflik perdagangan untuk beralih ke panggung triadic diicontohkan dengan ”jika satu negara A dapat menunjukkan bahwa dia menderita keruguian karena pelanggaran hukum GATT oleh negara B, maka negara A berwenang mewakili semua anggota GATT untuk menarik keuntungan yang akan secara normal diwajibkan kepada negara B. Bagaimanapun, negara anggota dapat menciptakan sistem panel untuk menyelesaikan perdebatan.

Sejak diinstitusionalisasikan pada tahun 1950an, sistem kemudian mencampurkan antara mediasi dan keputusan hakim konsensual melawan sebuah latar belakang resolusi dyadic. Para diplomat dan generalist perdagangan yang duduk sebagai panel. Pada saat mediasi gagal, para panel dapat menyelesaikan konflik dengan perjanjian yang relevan dan dengan persetujuan dari disputants. Awal tahun1970an, negara-negara besar kembali kepada sistem panel, dipimpin oleh Amerika Serikat, tidak hanya untuk menyelesaikan konflik perdagangan mereka, namun juga untuk membuat kebijakan perdagangan. Empat negara perdagangan terbesar diantaranya Kanada, EC, Jepang, dan Amerika Serikat kemudian mendominasi proses panel. Aksi final dari Uruguay Round adalah bertransformasinya GATT ke dalam WTO, 2

Resolusi Perdebatan dan Perubahan Normatif dalam Konteks Dyadic

Walaupun lahan resolusi perdebatan dyadic telah ada dalam hubungan internasional, kebanyakan interaksi internasional pada dasarnya adalah dyadic. Pertentangan antara aktor-aktor internasional terkadang mengikutsertakan resolusi dari pihak ketiga, melalui abitrasi, mediasi, atau refernsi dari pengadilan supranasional atau bentuk mekanisme formal lainnya. Pada dasarnya aktor-aktor internasional tersebut ingin mengajak rivalnya dan pihak ketiga tersebut ke dalam pandangan dan argumen mereka. Secara ekstrim kita dapat katakan bahwa aktor-aktor dengan kekuatan besar dapat memaksakan solusi kepada aktor lainnya yang leespower. Negara-negara berkekuatan besar ini kemudian berusaha untuk menunjukkan bahwa pilihan mereka adalah secara normatif dibenarkan. Pada sisi ekstrim lainnya, ketika tidak aktor tunggal yang dapat memaksakan sebuah solusi, argumen normatif tentang aksi apa yang dibenarkan menjadi sangat krusial dalam membangun suatu konsensus.

Penulis percaya bahwa sekalipun suatu aktor memiliki power lebih namun tetap saja dalam aktivitas politik internasionalnya ada norma-norma hukum yang mengiringi. Sudah merupakan ketentuan alam bahwa di saat individu-individu mengatur kehidupan mereka dalam suatu masyarakat, mereka segera perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungannya satu sama lain. Demikian juga dengan masyarakat politik yang dalam hubungannya satu sama lain merasa perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur segala macam hubungan dan kegiatan yang mereka lakukan.[2] Jadi, walaupun suatu negara sangat kuat dengan power yang luar biasa, tetap akan ada kontrol dari hukum internasional. Seperti yang Hart ungkapkan dalam bukunya The Concept of Law, ”legal control is therefore primarily, though not exclusively, control by directions which are in this double sense general.“[3]

Dalam hal ini kemudian terdapat pendapat bahwa bahkan aktor-aktor yang memiliki power lebih tidak berperan di luar struktur normatif. Dalam porsi dyadic khususnya dalam hubungan internasional dimana tidak adanya resolver perdebatan yang berwenang, dinamisme evolusi normatif tidak mudah dalam mengurangi penggunaan power. Tiga argumen yang kemudian mendukung pernyataan ini adalah rentang perdebatan dapat dihilangkan oleh aplikasi unilateral dari koersi yang kemudian berkurang. Kedua adalah aktor-aktor berkekuatan besar berperilaku sesuai dengan sebuah perangkat peraturan yang biasanya mereka buat sendiri daripada warisan dari aktor-aktor sebelumnya. Ketiga adalah Aktor-aktor yang powerful ini nilai-nilainya, tujuan-tujuannya,dan pilihan-pilihannya dibentuk dari struktur normatif yang telah ”didomestikasi”. Bentuk intervensi paksaan kemanusiaan yang dilakukan oleh security council PBB misalnya yang bertujuan untuk mengurangi terjadi pelanggaran hak asasi manusia, harus tetap berada di bawah kontrol hukum internasional.

Pada dasarnya hukum internasional percaya pada persfektif neorealis yang percaya pada pemahaman kenapa dan bagaimana aktor-aktor membangun sebuah susunan institusional baru yang membantu mereka untuk mencapai tujuannya. Namun ternyata, realis gagal dalam menyediakan sebuah account yang menjanjikan dari sisi normatif dan juga gagal dalam menjelaskan perubahan institusional yang krusial dan dinamis.Dalam hal ini ada dua tipe teori yaitu nomative-ideational dan material-physical power dimana kedua tipe ini mungkin berbeda satu sama lain namun sebenarnya mereka berhubungan dalam hal berbagai kepentingan berdasarkan konteks sosial. Dalam konteks triadic, prosedur resolusi perdebatan formal dapat secara eksplisit dilarutkan dengan memaksakan bagian-bagian di dalamnya untuk bersatu dalam sebuah bentuk normatif argumen. Sedangkan dalm konteks dyadic, material power kurang dapat dimediasikan namun dapat dibentuk oleh struktur normatif..

Penulis setuju jika terdapat hubungan erat antara hukum internasional dengan arena politik dalam hal ini hubungan internasional. Bukti bahwa antara hukum internasional dan hubungan internasional terjalin hubungan diantara keduanya adalah dengan adanya peran organisasi internasional sebagai pihak ketiga dalam hal ini, jika ada negara yang berada dalam keadaan konflik. Organisasi internasional ini misalnya PBB. Selain itu, organisasi internasional yang merupakan pihak ketiga ini juga merupakan subyek hukum internasional. Organisasi Internasional seperti PBB dan ILO mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnyasudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subyek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi-konvensi internasional tadi.[4]

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam peta politik dunia juga tidak lepas pengaruhnya dari perkembangan hukum internasional. Namun, perubahan-perubahan ini mempunyai akibat-akibat yang jauh bagi hukum internasional sehingga menyebabkan beberapa orang pesimis berbicara tentang krisis dalam hukum internasional. Kita yang melihatnya sebagai proses pertumbuhan dari susunan masyarakat yang tidak wajar, yaitu satu masyarakat internasional dimana azas-azas pokok pergaulan internasional yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan persamaan derajat internasional belum terwujud ke arah satu masyarakat dimana azas-azas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tidak dapat dielakkan[5]

Dasar normatif realisme dalam memandang dunia adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Maka masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada negara dan tidak meluas pada hubungan internasional yang merupakan arena politik dari kekacauan besar, perselisihan, konflik antara negara-negara dimana negara-negara berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.[6] Sehingga dalam teori bentyuk teori dyadic dimana adanya kasus intervensi kemanusiaan yang dipaksakan, terlihat bahwa norma internasional mengenai tidak bolehnya suatu negara lain melakukan intervensi ke dalam kedaulatan suatu negara, karena bagi konsep para realis, negara dan kedaulatannya tidak dapat diintervensi.

KESIMPULAN

Dalam pandangan realis yang sangat pesimis ini, ruang politik seakan tidak mempunyai

ruang untuk dikendalikan oleh norma hukum internasional karena semuanya kembali pada kedaulatan suatu negara, namun menurut penulis, walau bagaimanapun telah ada perubahan dalam sistem institusionalisasi, baik dalam konsep triadic melalui perubahan GATT menjadi bentuk yang lebih formal yaitu WTO, ataupun konsep dyadic melalui intervensi paksaan kemanusiaan yang dilakukan oleh security council PBB untuk mengurangi tingkat pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu neagra yang pada awalnya ditentang kemudian akhirnya disetujui asalkan tetap berada dalam kontrol norma-norma hukum internasional adalah merupakan perubahan institusional yang nyata.

Mengenai adanya intervensi, sebenarnya hukum internasional sangat melarang adanya intervensi dari suatu negara ke negara lain. Seperti yang Pak Boer Mauna katakan, sekalipun semua negara sepakat untuk tidak saling intervensi, namun pada kenyataan abad ke 20 seperti sekarang ini, negara-negara dapat melakukan intervensi satu sama lainnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya globalisasi yang menyebabkan tingkat ketergantungan antar negara semakin besar. Sehingga diperlukan perubahan institusional yang dapat membuat hukum internasional dapat mengikat kuat ke dalam aktivitas politik.

Dengan adanya perubahan institusional ke dalam bentuk yang lebih formal, kehidupan kita akan lebih baik, karena dengan adanya perubahan dalam bentuik yang formal ini, sertidaknya hukum internasional akan lebih mengikat sehingga suatu negara dapat lebih dikontrol tingkah lakunya, terutama aktivitas politiknya. Disini terlihat bahwa hubungan antara politik dan hukum internasional adalah saling mempengaruhi yang dalam hal ini dibuktikan dengan \hukum internasional yang mengandung norma-norma dan ketentuan-ketentuannya dapat mempengaruhi aktivitas politik suatu negara yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antar mayarakat internasional.



[1] Olivier Long, Law and its Limitations in the GATT Multilateral Trade System (Boston : Martinus Nijhoff, 1985)

[2] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung; P.T. Alumni, 2008)hlm. 4.

[3] H.L.A. Hart, The Concept of Law (London: Oxford University Press, 1961)hlm. 21.

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Bina Cipta, 1978) hlm. 95

[5] Joseph L Kunz, The Changing Law of Nations (London: A.J.I.L, 1957) hlm.. 379

[6] Robert Jackson dan George Sorensesn, Pengantar Studi Hubungan Internasional ( New York: Oxford University Press Inc, 1999)hlm. 89

Tidak ada komentar: